Senin, Januari 04, 2010

Alasan Kerja Keras Adalah Energi Kita

Roda memang selalu berputar. Terkadang di atas, kadang juga di bawah. Seperti minyak bumi di negeri ini. Pernah suatu waktu minyak bumi menjadi malaikat penolong bangsa ini, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa minyak bumi juga menjadi senjata pembunuh yang ampuh. PERTAMINA yang dikomandani Ibnu Sutowo dengan produk minyaknya telah sukses menyelamatkan Indonesia dari jurang kehancuran yang menjadi warisan orde lama dengan inflasi mencapai 600%. Sungguh suatu prestasi yang sangat membanggakan.

Pada waktu itu, Indonesia yang hanya mengkonsumsi minyak kurang dari 1 juta barel per hari telah berhasil menggenjot produksi minyaknya dari 500 ribu barel/hari menjadi 1,7 juta barel/hari. Alhasil, surplus produksi minyak berhasil diraih dan artinya hal tersebut memberikan pendapatan ekstra besar bagi bangsa ini yang mampu menggerakan roda perekonomian. Tentu saja hal itu adalah buah dari kerja keras PERTAMINA. Karena Kerja Keras Adalah Energi Kita.

Dalam perkembangannya, minyak bumi tetap menjadi primadona dalam menyokong pergerakan roda perekonomian bangsa ini. Namun, kini justru minyak bumi lah yang menjadi senjata pembunuh yang ampuh. Menurunya produktivitas karena mulai uzurnya sumur-sumur penghasil minyak, konsumsi yang semakin membumbung dan harga pasar dunia yang tidak terkendali telah membuat bangsa ini menghadapi hadangan defisit dan merubah statusnya dari negara pengekspor minyak menjadi negara pengimpor minyak.

Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa minyak bumi bukanlah salah satu sumber daya alam yang mudah untuk digenjot produksinya. Proses produksi membutuhkan biaya dan waktu yang tidaklah sedikit. Bahkan usaha tersebut sering kali kandas karena cadangan yang telah ditemukan tidak sesuai dengan nilai ekonomis.

Upaya Diversifikasi
Sadar akan problematika yang dihadapi, pemerintah pun berusaha mengurangi kebiasaanya bergantung pada minyak bumi. Diversifikasi menjadi langkah yang tidak bisa ditawar lagi bagi bangsa ini. Batu bara dan gas alam menjadi kandidat terkuat dalam menggeser pesona minyak bumi. Meskipun diversifikasi mulai dilakukan, ternyata sudah ada beberapa masalah yang mengganjal sebelumnya, seperti surat kontrak ekspor yang merugikan bangsa ini. Kita telah teledor mengekspor gas alam yang bernilai sangat tinggi dengan harga yang murah.

Tetapi juga perlu diingat bahwa diversifikasi masih menggunakan bahan bakar fosil yang notabene membutuhkan waktu jutaan tahun untuk membentuknya. Menurut data Departemen ESDM, batu bara hanya akan mampu menopang kebutuhan energi domestik 150 tahun ke depan, gas alam 68 tahun ke depan dan minyak mentah akan diprediksikan habis 15 tahun lagi jika tidak ditemukan ladang-ladang baru penghasil minyak.

Selain proses pembentukan yang memakan waktu jutaan tahun, diversifikasi merupakan langkah yang simalakama, alih-alih ingin mempertahankan ketahanan energi suatu Negara, justru emisi CO2 dari proses diversifikasi menyebabkan masalah baru yang menjadi polemik di negara belahan dunia manapun. Masalah tersebut adalah efek rumah kaca yang masih bersaudara dengan global warming. Kalau sudah begitu, Mampukan bangsa ini lulus dari ujian ketahanan energi? Apa yang semestinya dilakukan?

Biofuel
Sekarang bukanlah era bermalas-malasan dan mengandalkan kekayaan alam Indonesia. Atau duduk manis di ruangan ber-AC sambil menghitung nilai kekayaan. Ini masalah serius yang bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan atau PERTAMINA dan anak perusahaannya. Ini adalah tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara dan sekaligus makhluk pengguna energi terbesar dibandingkan dengan makhluk lainnya.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa bangsa ini sedang menghadapi ujian ketahanan energi. Diversifikasi yang menjadi solusi ternyata tidak mampu memberikan garansi bahwa ketahanan energi akan terjamin kuantitasnya. Di lihat dari letak geografis, sebenarnya Indonesia sangat mumpuni dalam mengatasi masalah kebutuhan energi. Indonesia yang beriklim tropis dan bertanah subur tentu memberikan nilai ++ dalam menyelesaikan masalah ini.

Negara yang menyandang status sebagai negara zamrud khatulistiwa ini sebenarnya sangat berpotensi untuk dikembangkannya biofuel. Yaitu bahan bakar ramah lingkungan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dengan bahan baku hasil bumi, seperti jarak. Kita sepatutnya mencontoh negara Brasil yang sukses dengan program biofuelnya. Brasil sempat menjadi negara pengekspor biofuel nomor satu dunia. Dan tentu saja hal tersebut sangat membantu roda perekonomian negara yang terkenal dengan sepak bolanya ini.

Meskipun biofuel sudah dicanangkan di Indonesia, ternyata kehadirannya kurang mendapatkan respon yang cukup dari masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan pada awal 2008 17 perusahaan biofuel yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) sempat memilih menyetop produksi karena pasar belum kondusif. Aprobi menuntut pemerintah untuk memberikan kemudahan dalam berbisnis biofuel ini, misalnya dengan memberikan insentif. Aprobi juga menuntut pemerintah agar memasukkan biofuel ke dalam rencana pemakaian energi Indonesia. Tapi fakta berbicara lain, sampai sekarang belum ada peraturan yang mengikat untuk pemakaian biofuel, padahal biofuel merupakan bisnis yang sangat berpotensi menguntungkan bangsa ini, walaupun sekarang belum booming di masyarakat. Bahkan, para petani jarak yang menjadi objek dari program ini juga mulai resah karena kurangnya perhatian dari pemerintah. Boro-boro dapat perhatian, iklan tentang biofuel saja ternyata tidak segemelegar dan semeriah iklan produk-produk otomotif yang ada di media elektronik dan atau massa. Padahal produk-produk otomotif tersebut mendorong masyarakat untuk menggunakan minyak bumi lebih banyak lagi. Tak urung potensi yang sangat menjanjikan ini hanya menjadi hitung-hitungan dan coretan indah di atas kertas.

Saatnya Melihat Ke Depan dan Berpikir Realistis
Tak perlu dalam-dalam menggali untuk mendapatkan energi alternatif pengganti minyak bumi, sebenarnya kita telah memiliki energi yang tidak akan habis dan tentunya sangat ramah lingkungan. Energi tersebut adalah matahari.

Bisnis sel surya ini sebenarnya sangat menguntungkan dan tentunya sangat cocok bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan masih banyaknya daerah terpencil. Bisnis yang memanfaatkan tenaga matahari ini sudah mulai dikembangkan di beberapa negara berkembang lainnya, seperti Nigeria, Honduras, Rep. Dominika dan India. Kesuksesan negara-negara tersebut dalam mengembangkan energi matahari menjadi energi alternatif pengganti minyak bumi patut dijadikan teladan bagi Indonesia.

Di Nigeria, bisnis sel surya telah mampu menghantarkan negeri ini melakukan pemerataan pembangunan dan memenuhi kebutuhan energi negaranya. Masyarakat pedesaan dan terpencil yang dikenalakan teknologi ini telah mampu memenuhi energi bagi daerahnya sendiri tanpa harus mengandalakan minyak bumi. Bahkan di India, bisnis sel surya ini telah mampu memberikan pemasukan negaranya sebesar USD 3 juta per tahun.

Menganalisa pembahasan di atas, sudah saatnya kita menyingsingkan lengan baju dan bekerja keras untuk mempertahankan kebutuhan energi negara kita. Tanpa kerja keras mungkin hal itu hanya akan menjadi mimpi belaka. Karena Kerja Keras Adalah Energi Kita, energi yang diperlukan untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik.

Langkah awal yang mungkin bisa dilakukan adalah melakukan pengurangan dalam pemakaian produk-produk yang berbahan bakar dasar minyak bumi, seperti kendaraan bermotor, kurangi pemborosan listrik dan mulai mempergunakan produk-produk yang ramah lingkungan. Harapan pun tak muluk-muluk, bagi PERTAMINA diharapkan semakin gencar dan gegap gempita dalam memperkenalkan produk-produknya, terutama yang ramah lingkungan seperti elpiji. Dan tentunya dengan bekerjasama dengan pemerintah, PERTAMINA juga diharapkan benar-benar dapat merealisasikan biofuel dan bisnis sel surya di Indonesia. Dengan begitu pemenuhan kebutuhan akan energi dan pemerataan pembangunan optimis bisa tercapai. Semoga dengan kerja keras semua hal positif ini dapat terealisasikan, karena Kerja Keras Adalah Energi Kita, energi positif untuk bangsa yang positif.

Referensi:
Harian Seputar Indonesia edisi 3 januari 2010