Selasa, Desember 01, 2009

MENABUNG

Anak dalam gendongan mbak Tin belum diam. Semakin mbak Tin berusaha menenangkannya, tangisan Alan semakin pecah. Mbak Tin pun kuwalahan menanganinya.

“Cup-cup sayang.” Sambil menepuk-nepuk pantat anaknya.

“Mungkin Alan lapar mbak.”

“Ngak lah, lha wong habis makan. Kelihatannya ngantuk, soalnya dari tadi pagi dia belum tidur sama sekali.“

“Ehm… Kalau gitu baringkan saja mbak di kasur dalam rumah, kasihan mbak kalau harus gendongin dia terus. ”

“Yo wis, tapi tolong jagain jemuran gabah mbak, takut dicekerin sama ayam.”

“Ya mbak.”

Mbak Tin pun menuju kamar untuk menidurkan anaknya. Setelah menidurkan anaknya, dia kembali ke jemuran gabah.

“Le, gimana kuliahnya? Lancar nggak?”

“Alhamdulillah lancar. Kenapa mbak?” melirik ke arah mbak Tin yang duduk disampingku.

“Nggak kenapa-napa, Cuma pingin tahu saja. Terus gimana nilainya?”

“Alhamdulillah bagus, semester satu kemarin IP aku 3,90 dan yang semester dua 4,00.”

“Puh…puh...puh…tinggi banget le IP-mu.” menunjukkan ekspresi keheranan dan mengelus-ngelus kepalaku.”Adikku yang ini mang benar-benar pintar.”

“Amin…Ini semua kan berkat do’a mbak juga, tanpa do’a mbak mungkin aku belum bisa mencapai nilai segitu.” Jawabku dengan malu-malu.

“Yo ngono…, sampeyan kan anaknya orang kurang mampu, mumpung dapat rejeki bisa kuliah gratis, sampeyan harus menunjukkan ke pemberi beasiswanya sampeyan bahwa sampeyan bisa bersaing dengan orang-orang kota, walaupun sampeyan dari desa.”

“Ya mbak...”

“Oia mbak, kemarin aku kan ngenet, terus aku nyari-nyari informasi di Google tentang tabungan. Kalau menurut aku, apa nggak sebaiknya dari sekarang mbak mempersiapkan tabungan masa depan buat Alan, terutama tabungan pendidikannya. Kan, kita sama-sama tahu bahwa pendidikan sekarang cukup mahal, bahkan tiap tahun mengalami kenaikan, jadi kalau mbak mempersiapkannya dari sekarang mungkin kedepannya tidak terlalu berat dalam membiayai pendidikan Alan.”

Mendengar ucapanku, mbak Tin tersenyum dan menatap mataku. Aku pun tertunduk malu dan takut, aku takut kalau apa yang telah aku ucapkan tadi menyinggung perasaannya karena aku dianggap telah mengguruinya.

“Huh...” Mbak Tin menghela napas panjang dan mengehmbuskannya. “Emangnya orang-orang seperti mbak boleh nabung, bukannya tabungan itu buat orang-orang yang berduit saja.”

Segera aku mengangkat wajahku dan menatap balik mata mbak Tin. Entah kekuatan dari mana aku menjadi berapi-api untuk mejelaskan sedikit pengetahuanku tentang dunia perbankan yang baru saja aku peroleh kemarin sore. “Ya, nggak mbak. Orang-orang seperti kita pun juga berhak menabung di bank, tidak hanya orang-orang yang beduit saja. Kan salah satu tujuan bank didirikan adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat, tidak peduli golongan bawah, menengah atau atas, terus dana tersebut biasanya akan disalurkan kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dengan tingkat bunga yang berbeda-beda di tiap bank, tergantung kebijakan masing-masing bank. Selain itu, kalau kita menyimpan uang di bank, uang kita akan dijamin keamanannya, terus kita juga akan dapat kontribusi dari bank atau yang biasa disebut dengan bunga, besar kecilnya bunga yang kita peroleh tergantung dari besar kecilnya uang yang kita simpan di bank. Dan yang paling penting adalah dengan menabung di bank kita turut serta dalam melakukan pembangunan negeri ini mbak.”

“Tapi le, mbak takut.”

“Takut kenapa mbak, kan bank nggak bisa nggigit?” cetusku.

“Hahaha… emangnya kucing, nggigit. Kalau aku nyimpan uangnya di bank, terus aku mau ngambilnya gimana? Lagian kata orang kalau menabung di bank itu ribet, suruh ngisi kolom-kolom gitu mirip ujian sekolah, mbak kan ga terlalu paham, lagian gaji masmu tiap bulan kan cuma Rp 500.000,00, mangnya bisa buat nabung? Kan, kata orang-orang pertama kali menabung itu butuh uang yang gede.”

“Mbak…” aku mengambil napas panjang dan membuangnya. “Nggak semua yang dibicarakan orang itu benar, tapi juga nggak semuanya salah. Mang benar waktu pertama kali menabung membutuhkan setoran awal, tetapi setoran itu tidaklah terlalu besar, biasanya setoran awalnya paling kecil Rp 50.000,00 atau Rp 100.000,00, itu semua tergantung kebijakan masing-masing bank, sehingga dengan gaji mas Puji yang segitu tadi mbak sudah bisa membuka tabungan di bank. Uang yang sudah ditabung juga bisa diambil kapanpun kok. Dan untuk pengisian kolom-kolom yang tadi, hanya dilakukan pada saat kita pertama kali membuka tabungan, biasanya cuma berisi informasi data diri kita dan itu pun pasti akan dipandu oleh pihak bank dalam mengisinya. Setelah mengisi kolom-kolom tersebut, nanti mbak akan diberi buku tabungan dan biasanya juga diberi kartu ATM, jadi lewat buku tabungan tersebut mbak bisa mengontrol dan mengawasi keuangan mbak yang disimpan di bank. Selain itu mbak, dengan kartu ATM yang diberi bank tadi, mbak bisa berbelanja di beberapa toko yang bekerjasama dengan bank tersebut tanpa harus membawa uang tunai, jadi lebih aman dan simple mbak. Di samping itu, melalui bank mbak juga sudah bisa membayar tagihan listrik, PAM, dan telepon. Dan tentunya masih banyak lagi keuntungan-keuntungan yang dapat mbak Tin nikmati. Gimana mbak? Apa nggak tertarik?” bujukku.

Ku lihat raut muka mbak Tin mulai agak berseri-seri, mungkin ini pertanda baik bahwa dia mau menabung di bank. “Yo wis… aku bilang dulu ke masmu. Tapi beneran kan bisa diambil kapan-kapan kalau mbak butuh uang?” menatapku dengan tajam dan dengan nada yang tegas.
“Ya mbak, InsyaAllah bisa.” Kataku untuk meyakinkannya.

**
Keesokan harinya, ketika aku sedang mencuci motor kakekku. Terdengar suara memanggil-manggil namaku dari kejauhan.

“Put…Put…Put.” Aku tengok kanan dan kiri, ternyata itu suara mbak Tin.

“Kenapa mbak?“ tanyaku.

“Antarin mbak ya.”

Aku yang melihat raut muka mbak Tin yang berseri-seri mencoba untuk menerka apa yang sedang dipikirkannya.

“Ngantar kemana mbak? Ke Bank? Hehehehe…” celetukku.

“Iya… seperti yang kamu bilang kemarin, kata kamu kan nabung di bank itu banyak keuntungannya dan mbak pikir nggak da salahnya mulai dari sekarang mbak dan masmu mempersiapkan tabungan masa depan untuk Alan, terutama pendidikannya, biar mbak dan masmu nggak terlalu berat di masa yang akan datang. Makasih ya sarannya.”

“Ya mbak… ya sudah tunggu sebentar ya mbak, 15 menit lagi aku jemput mbak di rumah mbak, soalnya aku tinggal sedikit lagi mencuci motornya dan sekalian aku mandi.”

“Yo wis, mbak juga mau siap-siap.” Sambil pamit pulang.

Selesai membersihkan motor dan siap-siap, segera aku tancap gas untuk meluncur ke rumah mbak Tin.

“Yut…Buyut… mbak Tin mana yut?” tanyaku.

“Tin…Tin…adikmu sudah datang lho…Buruan berangkat sana, dandan dari tadi kok nggak kelar-kelar.” Teriak buyutku dari teras rumahnya.

“Ya…ya… ini juga sudah selesai.” Sambil berjalan keluar dari kamar. Dan aku pun memutar balik motorku untuk siap-siap meluncur ke bank terdekat. Kemudian aku menghidupkan motorku.

“Le, ntar di sana waktu buka tabungan butuh berapa lama?” sambil naik ke boncengan motor

“Ya…. Kalau nggak antri paling 20 menit juga selesai. Gimana mbak? Sudah siap belum?”

“Sudah… yo wis… ayo berangkat.”

“Yut, berangkat dulu… Assalammu’alaikum…” kata kami berdua

“Wa’alaikumsalam… hati-hati di jalan.”

“Nggeh…”

Akhirnya, kami pun meluncur ke bank terdekat.

**
Kira-kira kami di bank sekitar 30 menit dan setelah selesai membuka tabungan kami pun berangkat pulang. Dalam perjalanan pulang mbak Tin terus mengajak aku bercakap-cakap.

“Owalah le… ternyata membuka tabungan itu nggak ribet-ribet amat, malahan mudah.
Ternyata nggak sama dengan yang orang-orang omongin selama ini, yang katanya ribet lah, susah lah, dll.”

“Ya… gitulah mbak. Mang nggak ribet kok.”

“Kalau tahu gini, sejak dari dulu aja mbak menabung di bank dan mulai besok saya mau kasih tahu orang-orang sekitar rumah dan teman-teman arisan mbak, ternyata membuka tabungan di bank itu nggak ribet dan tentunya dapat banyak keuntungan, terutama aman dan bunganya itu lho.”

“Sip…sip…”

Aku sangat senang dan kaget ketika mendengar mbak Tin berucap seperti itu. Senang karena dia akan memberitahu orang lain untuk menabung di bank dan kaget karena ternyata di desaku masih banyak orang-orang yang belum mengetahui tentang keunggulan-keunggulan apa saja yang akan diperoleh nasabahnya jika menabung di bank. Tapi aku memakluminya, karena desaku memang agak pedalaman. Akan tetapi kalau dipikir-pikir lagi, “Apakah kita sebagai orang pedalaman tidak berhak mendapatkan sosialisasi tentang dunia perbankan? Padahal setahu aku, orang-orang pedalaman atau desa itu mempunyai cukup uang untuk menabung di bank, bahkan cukup banyak. Cuma pada umumnya mereka tidak tahu kalau ternyata ada lembaga keuangan yang dapat menghimpun dana mereka, sehingga menyimpan uang di bawah kasur menjadi pilihan mereka.” Kataku dalam hati.

Mudah-mudahan setelah membaca cerpen ini, suatu saat akan ada orang-orang atau lembaga-lembaga keuangan seperti bank yang memberikan sosialisai tentang dunia perbankan, tidak hanya di desaku saja tetapi di desa-desa yang lain juga. Itu semua karena Dengan Bank Yang Sehat Bangunlah Desanya Bangunlah Negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar